Jumat, 15 November 2013

Pentingnya Kebijakan Sensitif Konflik

Fungsi utama pemerintah adalah mengelola konflik diantara berbagai macam kelompok masyarakat; demikian menurut Zartman ketika mengatakan “governing is conflict manajement”. Hal ini berarti bahwa dengan hadirnya pemerintah seharusnya konflik antar masyarakat tidak perlu terjadi. Sayangnya perjalanan negeri-negeri dalam wilayah Provinsi Maluku dan juga di wilayah lainnya di Indonesia masih rentan terhadap konflik antar kelompok. Di Maluku konflik antar negeri merupakan fenomena umum yang tidak terselesaikan hingga saat ini. Dapat dipastikan setiap tahun akan terjadi konflik yang bersifat destruktif antar negeri-negeri yang bertetangga; konflik terakhir yang cukup menyibukkan semua pihak adalah konflik antara Negeri Potho dan Negeri Haria- dua negeri tetangga di Kecamatan Saparua.
Munculnya konflik dengan mekanisme destruktif kepermukaan dalam banyak kasus, disebabkan karena pemerintah menjalankan fungsi manajemen konfliknya secara keliru. Potensi konflik bukannya ditransformasikan ke arah yang konstruktif tetapi dihindari dan dipendam. Mekanisme penghindaran atau memendam konflik adalah mekanisme yang keliru karena daya ledak konflik terpendam justru lebih kuat; selain pengelolaan konflik dengan memendam konflik, pengelolaan konflik melalui mediasi, arbitrasi dan rekonsiliasi juga merupakan bentuk manajemen konflik yang usang, karena sudah ada ada warga masyarakat yang dirugikan, celakanya mekanisme tersebut tidak berupaya menyelesaikan konflik tetapi berputar kembali kepada mekanisme memendamkan konflik. Akibatnya situasi nir-kekerasan dalam masyarakat hanya bersifat sementara dan hanya menunggu waktu untuk muncul lagi kepermukaan dengan daya ledak yang lebih tinggi.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana manajemen konflik yang baik? Secara sederhana manajemen konflik yang baik adalah mengantisipasi munculnya konflik secara destruktif ke permukaan. Salah satu mekanisme pengelolaan konflik adalah melalui kebijakan publik yang diterbitkan oleh pemerintah; Kebijakan Sensitif Konflik. Kebijakan sensitive konflik adalah kebijakan publik yang dikembangkan diluar logika-logika konvensional yang selama ini dipraktekan di Indonesia. Realita menunjukkan bahwa kebijakan konvensional secara teori dan prakteknya tidak peka terhadap konflik, baik konflik horizontal maupun konflik vertical, akibatnya kebijakan konvensional tersebut lebih banyak mendorong konflik ke permukaan dimana kehadirannya meninggalkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah dan masyarakat; kebijakan konvensional dalam banyak hal justru mendorong konflik tersebut. Kebijakan konvesional selama ini dibangun di atas fondasi yang elitis dengan corak teknokratik; kebijakan publik lebih kental dengan nuansa administratif belaka. Pemerintah dan pejabatnya mempunyai peran sentral dalam kebijakan konvensional tersebut, akibatnya masalah dalam masyarakat seringkali didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal masalah bagi pemerintah belum tentu merupakan masalah bagi masyarakat, terkadang masalah bagi pemerintah justru merupakan solusi bagi masyarakat.
Kebijakan konvensional juga beranggapan bahwa proses perumusan kebijakan publik merupakan proses yang tanpa masalah, pendekatan ini menaifkan kerterlibat actor yang sangat variatif dimana tiap actor yang terlibat tidak sama dalam setiap pentahapan kebijakan publik; selain itu kebijakan publik seringkali dimaknai sebagai wilayah pemerintah dengan jajarannya, pemaknaan yang seperti ini disebabkan selain karena pemerintah dan jajarannya diangaap memiliki rasionalitas yang lebih baik dari pada rasionalitas masyarakat, juga karena kebijakan publik di Indonesia adalah merupakan kewenangan pemerintah belaka; pemikiran yang demikian sudah kehilangan pijakannya setelah runtuhnya rezim otoritarian, ketika kita mengkalim bahwa Indonesia adalah Negara demokratis, pada saat itu sebenarnya proses perumusan kebijakan publik dari segi aktornya jadi bertambah dengan masyarakat baik secara individual maupun kelompok. Implikasi dari pemikiran dan proses kebijakan publik yang konvensional menyebabkan kebijakan publik bersifat “the winner take all” yang pada gilirannya menghasilkan tingginya ketegangan sosial, marjinalisasi dan konflik terpendam (Lambang Trijono, 2007).
Singkatnya kebijakan publik dengan logika konvensional lebih banyak merupakan cerita tentang kegagalan; gagal untuk memecahkan masalah masyarakat bahkan cenderung kebijakan konvensional mempunyai kapasitas sebagai pendorong konflik. Untuk itu sudah saatnya dikembangkan kebijakan sensitive konflik. Justifikasi pentingnya kebijakan sensitive konflik di Indonesia khususnya di Maluku adalah : pertama, masyarakat dan pemerintah Maluku memiliki tanggung jawab untuk menciptakan dan memancarkan relasi yang nir-kekerasan sehingga bisa menjadi contoh bagi pengembangan perdamaian secara menyeluruh. Adalah sangat paradox ketika Maluku dipresentasikan sebagai wilayah yang mampu mewujudkan perdamaian dengan budayanya ditambah dengan ditempatkannya gong perdamaian dunia di Maluku namun pada saat yang bersamaan konflik antar negeri sering terjadi; Kedua, filosofi “lebih baik mencegah daripada mengobati”, sumber daya yang diperlukan untuk mencegah konflik lebih ringan jika dibandingkan dengan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga, Salah satu factor yang menyebabkan Maluku sebagai provinsi tertua di Indonesia begitu tertinggal dengan daerah-daerah lain adalah terkurasnya sumber daya yang dimiliki untuk berkonflik dan menyelesaikan konflik. Ketika konflik terjadi semua upaya pembangunan yang telah dilaksanakan menjadi sia-sia karena dihancurkan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Kebijakan sensitive konflik merupakan bentuk kebijakan yang berupaya untuk mentransformasikan konflik yang ada sehingga pada gilirannya perbedaan kepentingan dapat dikelola bagi secara konstruktif bagi perkembangan dan kemajuan seluruh masyarakat. Karenanya kebijakan ini lebih kental sebagai aktivitas politik daripada kegiatan administratif yang memisahkan fakta dalam masyarakat dengan kebijakan publik itu sendiri. Pertanyaannya bagaimana mengembangkan Kebijakan Sensitif Konflik? Untuk dapat mengembangkan kebijakan sensitif konflik bukan perkara mudah dibutuhkan kualitas aparatur pemerintahan yang baik serta keseriusan yang tinggi dari pemerintah. Yang tak kalah pentingnya adalah tersedianya data yang akurat tentang potensi konflik dalam masyarakat; sehingga apapun kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah bisa mengkonstruksikan potensi konflik dalam masyarakat menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan.
Singkatnya kebijakan sensitif konflik merupakan langkah awal menuju Maluku yang harmonis dan sejahtera, tanpa kebijakan sensitif konflik Maluku akan selalu terjebak dalam konflik antar warga masayarakat.-
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana manajemen konflik yang baik? Secara sederhana manajemen konflik yang baik adalah mengantisipasi munculnya konflik secara destruktif ke permukaan. Salah satu mekanisme pengelolaan konflik adalah melalui kebijakan publik yang diterbitkan oleh pemerintah; Kebijakan Sensitif Konflik. Kebijakan sensitive konflik adalah kebijakan publik yang dikembangkan diluar logika-logika konvensional yang selama ini dipraktekan di Indonesia. Realita menunjukkan bahwa kebijakan konvensional secara teori dan prakteknya tidak peka terhadap konflik, baik konflik horizontal maupun konflik vertical, akibatnya kebijakan konvensional tersebut lebih banyak mendorong konflik ke permukaan dimana kehadirannya meninggalkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah dan masyarakat; kebijakan konvensional dalam banyak hal justru mendorong konflik tersebut. Kebijakan konvesional selama ini dibangun di atas fondasi yang elitis dengan corak teknokratik; kebijakan publik lebih kental dengan nuansa administratif belaka. Pemerintah dan pejabatnya mempunyai peran sentral dalam kebijakan konvensional tersebut, akibatnya masalah dalam masyarakat seringkali didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah. Padahal masalah bagi pemerintah belum tentu merupakan masalah bagi masyarakat, terkadang masalah bagi pemerintah justru merupakan solusi bagi masyarakat.
Kebijakan konvensional juga beranggapan bahwa proses perumusan kebijakan publik merupakan proses yang tanpa masalah, pendekatan ini menaifkan kerterlibat actor yang sangat variatif dimana tiap actor yang terlibat tidak sama dalam setiap pentahapan kebijakan publik; selain itu kebijakan publik seringkali dimaknai sebagai wilayah pemerintah dengan jajarannya, pemaknaan yang seperti ini disebabkan selain karena pemerintah dan jajarannya diangaap memiliki rasionalitas yang lebih baik dari pada rasionalitas masyarakat, juga karena kebijakan publik di Indonesia adalah merupakan kewenangan pemerintah belaka; pemikiran yang demikian sudah kehilangan pijakannya setelah runtuhnya rezim otoritarian, ketika kita mengkalim bahwa Indonesia adalah Negara demokratis, pada saat itu sebenarnya proses perumusan kebijakan publik dari segi aktornya jadi bertambah dengan masyarakat baik secara individual maupun kelompok. Implikasi dari pemikiran dan proses kebijakan publik yang konvensional menyebabkan kebijakan publik bersifat “the winner take all” yang pada gilirannya menghasilkan tingginya ketegangan sosial, marjinalisasi dan konflik terpendam (Lambang Trijono, 2007).
Singkatnya kebijakan publik dengan logika konvensional lebih banyak merupakan cerita tentang kegagalan; gagal untuk memecahkan masalah masyarakat bahkan cenderung kebijakan konvensional mempunyai kapasitas sebagai pendorong konflik. Untuk itu sudah saatnya dikembangkan kebijakan sensitive konflik. Justifikasi pentingnya kebijakan sensitive konflik di Indonesia khususnya di Maluku adalah : pertama, masyarakat dan pemerintah Maluku memiliki tanggung jawab untuk menciptakan dan memancarkan relasi yang nir-kekerasan sehingga bisa menjadi contoh bagi pengembangan perdamaian secara menyeluruh. Adalah sangat paradox ketika Maluku dipresentasikan sebagai wilayah yang mampu mewujudkan perdamaian dengan budayanya ditambah dengan ditempatkannya gong perdamaian dunia di Maluku namun pada saat yang bersamaan konflik antar negeri sering terjadi; Kedua, filosofi “lebih baik mencegah daripada mengobati”, sumber daya yang diperlukan untuk mencegah konflik lebih ringan jika dibandingkan dengan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik. Ketiga, Salah satu factor yang menyebabkan Maluku sebagai provinsi tertua di Indonesia begitu tertinggal dengan daerah-daerah lain adalah terkurasnya sumber daya yang dimiliki untuk berkonflik dan menyelesaikan konflik. Ketika konflik terjadi semua upaya pembangunan yang telah dilaksanakan menjadi sia-sia karena dihancurkan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Kebijakan sensitive konflik merupakan bentuk kebijakan yang berupaya untuk mentransformasikan konflik yang ada sehingga pada gilirannya perbedaan kepentingan dapat dikelola bagi secara konstruktif bagi perkembangan dan kemajuan seluruh masyarakat. Karenanya kebijakan ini lebih kental sebagai aktivitas politik daripada kegiatan administratif yang memisahkan fakta dalam masyarakat dengan kebijakan publik itu sendiri. Pertanyaannya bagaimana mengembangkan Kebijakan Sensitif Konflik? Untuk dapat mengembangkan kebijakan sensitif konflik bukan perkara mudah dibutuhkan kualitas aparatur pemerintahan yang baik serta keseriusan yang tinggi dari pemerintah. Yang tak kalah pentingnya adalah tersedianya data yang akurat tentang potensi konflik dalam masyarakat; sehingga apapun kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah bisa mengkonstruksikan potensi konflik dalam masyarakat menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan.
Singkatnya kebijakan sensitif konflik merupakan langkah awal menuju Maluku yang harmonis dan sejahtera, tanpa kebijakan sensitif konflik Maluku akan selalu terjebak dalam konflik antar warga masayarakat.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar